Selasa, 14 Juni 2016

BIOGRAFI MBAH SHOLEH DARAT
Ulama dari Semarang
KH Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani, terkenal dan akrab dengan nama KH Saleh Darat, adalah ulama terkemuka di peralihan abad 20 yang menjadi guru para ulama Jawa terkemuka generasi berikutnya. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai penulis prolifik kitab-kitab keagamaan beraksara Arab dalam Bahasa Jawa. Kiai Saleh Darat adalah putera Kiai Umar, yang seperti Kiai Maja, merupakan pejuang dan penasehat keagamaan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa.
Beliau dilahirkan di kedung Jumbleng, Mayong, Jepara sekitar tahun 1820. Pelajaran agama pertama kali beliau peroleh dari ayah beliau sendiri, dilanjutkan berguru kepada beberapa ulama, antara lain: KH Muhammad Syahid (Kajen, Pati), KH Raden Muhammad Shalih bin Asnawi (Kudus), Kiai Ishak Damaran (Semarang), Kiai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi bin Baquni (Semarang), Ahmad Bafaqih Ba’alawi (Semarang), dan Syekh Abdul Ghani Bima (Semarang).
Ketika Pangeran Diponegoro ditangkap dan perlawanannya dihancurkan oleh Belanda, Kiai Umar beserta anak laki-laki beliau Saleh, melarikan diri ke Singapura dan kemudian ke Makkah. Selanjutnya di kota suci ini Saleh mempelajari Islam hingga bertahun-tahun. Teman seangkatan beliau adalah Syeikh Nawawi Banten dan Syaikhuna Cholil Bangkalan.
Dalam kitab Al-Mursyid al-Wajiz yang beliau tulis, beliau menyebutkan nama-nama guru beliau sewaktu belajar di Makkah antara lain: Syekh Muhammad al-Maqri al-Mishri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad al-Nahrawi al-Mishri al-makki, Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi al-Makki, Syekh Zaid, Syekh Umar al-Syami, Syekh Yusuf as-Sanbalawi, dan Syekh Jamal.
Sekembali dari Makkah, Kiai Saleh diambil menantu oleh Kiai Murtadha, salah seorang kiai terkemuka zaman itu, dan kemudian membuka sebuah pesantren di Kampung Melayu Darat, Semarang. Dari sinilah adal mula nam ‘Darat’ yang disematkan kepada beliau. Santri-santri beliau berjumlah ratusan orang. Dari Semarang sendiri maupun daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur lainnya seperti; Kendal, Pekalongan, Demak, Rembang, Salatiga, Yogyakarta, Tremas dan lainnya. Beberapa santri beliau menjadi tokoh dan ulama terkemuka di paro  pertama abad 20 seperti; KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang, Pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (Yogyakarta, Pendiri Muhammadiyah), KH Mahfuzh (Tremas), KHR Dahlan (Tremas), Kiai Amir (Pekalongan), Kiai Idris (Surakarta), KH Abdul Hamid (Kendal), Kiai Khalil (Rembang), Kiai Penghulu Tafsir Anom (Kraton Surakarta). Tak berlebihan jika beliau disebut sebagai ‘guru ulama Jawa’.
Kitab-kitab yang ditulis oleh Kiai Saleh semuanya menggunakan Bahasa Jawa pesisiran atau istilah di dalam kitab-kitab beliau ditulis al-Lughah al-Jawiyyah al-Merikiyyah (Bahasa Jawa Setempat), dan sebagian besar merupakan karya saduran dan terjemahan atau khulashah (ringkasan) dari suatu kitab. Seperti ditulis di bagian akhir dalam salah satu kitab beliau “Majmu’ah asy-Syari’ah al-Kafiyatu lil ‘Awam”, “... kerono arah supoyo pahamo wong-wong amsal ingsun awam kang ora ngerti boso Arab muga-muga dadi manfaat bisa ngelakoni kabeh kang sinebut ing njero iki tarjamah ...,” kitab-kitab yang ditulis Kiai Saleh jelas ditujukan untuk kalangan yang tidak mengerti Bahasa Arab.
Kiai Saleh menerjemah, menyadur dan meringkas kitab-kitab besar seperti Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali atau Matan al-Hikam karya Ahmad bin ‘Athaillah al-Iskandari untuk disajikan ke pembelajar awam dan tidak mengerti bahasa Arab tersebut. Saduran dan ringkasan yang dibuat Kiai Saleh sangat padat, ringkas dan mengena. Tidak aneh kalau hingga sekarang pun sebagian dari kitab-kitab beliau masih dicetak oleh Karya Toha Putera, Semarang. Dan ini artinya masih terus dibaca dan dipelajari, terutama di daerah Jawa Tengah pesisiran.
Dalam kitab-kitab beliau, nam beliau ditulis secara resmi sebagai “Asy-Syaikh Haji Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani”. sebagai penghormatan, mendahului nama beliau juga dicantumkan sebutan “Asy-Syaikh al-‘Alim al-‘Allamah wal Bahrul Fahhamah (Sang Guru Besar yang Alim, Teramat Alim dan Memiliki Lautan Pengetahuan)”.
Di dalab kiab-kitab beliau, Kiai Saleh dengan terbuka dan kerendahan hati senantiasa menyebut bahwa beliau hanya menghimpun, meringkas dan menerjemah suatu kitab jika memang demikian adanya; “... metik saking Ihya’ ‘Ulumuddin Al-Ghazali (diambil dari Ihya’ ‘Ulumuddin Al-Ghazali),” demikian beliau tulis di sampul kitab Munjiyat.
Tercatat ada dua belas kitab yang dinisbatkan dengan nama Kiai Saleh, yaitu: Majmu’atusy Syari’at al-kafiyah li al-‘Awam (Himpunan hukum syari’at bagi orang awam), kitab Munjiyat (Kitab Ilmu Jiwa dipetik dari Ihya’ ‘Ulum ad-Din), Matan al-Hikam (Kitab Hikmah diambil dari karya Ahmad bin ‘Athaillah al-Iskandari). Kemudian Latha’ifuth Thaharah wa Asrar ash-Shalah (Rahasia dan hakikat salat dan puasa), keutamaan bulan Muharram termasuk ‘Asyura, keutamaan bulan Rajab dan keutamaan bulan Sya’ban; Manasik al-Hajji wa al-‘Umrah (Tata Cara Haji dan Umrah), Kitab Fasolatan (Kitab Tentang Sholat), Sabilul Abid ‘ala Jauharatit Tauhid (Kitab Tauhid [ketuhanan] yang merupakan terjemahan dari kitab tauhid karya Ibrahim al-Laqqani, Al-Mursyid al-Wajiz (Kitab tentang Al-Qur’an), Haditsul Mi’raj (kitab mengenai Isra’ Mi’raj), Kitab al-Mahabbah wa al-Mawaddag fi Tarjamah Qaul al-Burdah fi al-Mahabbah wa al-Madh ‘ala Asyyid al-Mursalin (Syarah atas kitab Maulid Burdah karya Muhammad bin Sa’id al-Bushiri [1212-1296 H.], Faidh ar-Rahman Fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan (Tafsir Qur’an0, dan Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Hidayat al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ (Syarah atas kitab Hidayatul Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ karya Zainuddin bin ‘Ali al-Malibari [872-928 H.]).
Tiga dari karya beliau yang diambil dari Imam Al-Ghazali, Syaikh Ibnu ‘Atha’illah dan Zainuddin al-Malibari, menunjukkan bahwa Kiai Saleh memiliki kecenderungan pada pengajaran tasawwuf, meski beliau juga menulis topik-topik yang lain. Kehidupan beliau yang sangat sederhana membuat beliau terkenal sebagai seorang sufi sejati. Tak aneh kalau di kalangan ulama Jawa yang lebih muda, Kiai Saleh dijuluki sebagai ‘Ghazali Kecil’ (al-Ghazali al-Shaghir).
Kiai Saleh Darat juga dianggap sebagai guru R.A. Kartini, pengobar perjuangan perempuan di Indonesia yang terus dikenang hingga kini. Dalam datu riwayat diceritakan bahwa seusai mengikuti pengajian tafsir al-Fatihah yang diberikan oleh Kiai Saleh Darat di Pendopo Agung Demak, R.A. Kartini secara halus meminta Kiai Saleh untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa agar Al-Qur’an lebih bisa dimengerti kalangan awam. Di antaranya, atas dasar permintaan R.A. Kartini itulah beliau Kiai Saleh menulis kitab Faidlur Rahman fi Tarjamah Tafsir kalam al-Malik al-Dayyan pada tahun 1312 H/1894 M, kitab yang berisi tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa.
Ketika R.A. Kartini menikah, Kiai Saleh Darat menghadiahkan kepada beliau terjemahan Al-Qur’an juz pertama. Berkat terjemahan ini, R.A. Kartini yang sebelumnya memandang Al-Qur’an sebagai kitab yang hanya dimonopoli pengertiannya oleh para ulama saja, mengaku menjadi lebih memahami dan mencintai Al-Qur’an. Sayang, tafsir Al-Qur’an pertama dalam bahasa Jawa ini hanya sempat ditulis hingga juz enam karena Kiai Saleh Darat wafat.
Kiai Saleh Darat dikenal memiliki sikap politik yang anti-Belanda yang tercermin dalam banyak karya beliau. Beliau mengajarkan murid-murid beliau untuk sebisa mungkin menghindari Belanda dan memperingatkan mereka agar tidak meniru-niru cara hidup Belanda. Dalam Kitab beliau, Majmu’at al-Shari’at al-Kafiyya li-l-‘Awam, beliau menyatakan haram hukumnya bagi umat Islam menggunakan pakaian Eropa seperti jas dan dasi. Jika pun tidak bisa dihindarkan lagi harus datang ke kantor pemerintahan, Kiai Saleh menyarankan agar bersangkutan masuk dengan kaki kiri terlebih dahulu sebagaimana memasuki toilet dan tempat-tempat sejenis lainnya. Karena itu, tidak aneh kalau sekali waktu Kiai Saleh pernah dicurigai memiliki hubungan dengan para aktivis politik. Pada tahun 1883, Konsul. Belanda di Jeddah melaporkan bahwa Kiai Saleh pernah meminta Sultan Turki Utsmani untuk menghancurkan dominasi Belanda di Jawa.
Kiai Saleh wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H, bertepatan dengan 18 Desember 1903, dalam usia 83 tahun. Beliau dimakamkan di Pemakaman Umum Bergota, Semarang. Makam beliau kini menjadi sebjek ziarah keagamaan yang penting di Jawa. Pada tiap tanggal 5 Syawwal masyarakat menggelar haul untuk memperingati kewafatan ulama terkemuka ini. (Sumber: N.U online)